Kamis, 14 April 2016

contoh drama " mengonversi teks negoisasi dalam bentuk drama"

NEGOSIASI WARISAN YANG DITINGGALKAN PAK JARWO
40 hari sudah meninggalnya Almarhum Bapak Jarwo. Siang itu, suasana berkabung telah hilang, digantikan dengan perselisihan antara anak sulung dan anak bungsu Pak Jarwo. Baik anak sulung maupun anak bungsu, mereka tidak ada yang mau mengalah, masing-masing berdebat mempertahankan kemauan mereka. Sepeninggalan pak Jarwo, beliau meninggalkan warisan berupa tanah 25 hektar, yang terletak di jalan garuda RT 12 RW 5 di Cileunyi, sejumlah uang  dan sebuah villa, serta rumah yang dulunya pernah mereka tempati sekeluarga.
A1          : “ Disini kita berkumpul untuk membicarakan soal semua harta yang ditinggalkan oleh orang tua kita “
A2          : “ Iya, sekarang bagaimana kita membaginya ? “
A1          : “ Karena ini sudah 40 harinya bapak meninggal, jadi kita harus membicarakannya lebih jelas, 30 menit lagi pengacara dan sekretaris desa akan datang “
A2          : “ Tentu saja, tapi aku harap karena aku yang anak terakhir, aku yang seharusnya mendapat yang lebih banyak, karena aku juga membutuhkan uang untuk kuliah dan lainnya “
A1          : “ Jika itu yang kamu mau, itu tentu saja tidak adil, kakak yang lebih tahu tentang itu dan sudah sepatutnya kakak yang mendapat lebih “
A2          : “ Itu tidak bisa, coba ingat lagi, aku lah yang telah merawat bapak selama sakit, sedangkan kakak hanya sibuk ngurusin kerjaan kakak yang ngga jelas “
A1          : “ Apa kau bilang, kenapa bicaramu berubah seperti itu ? kau kira kakak tidak tahu, kamu kan merawat Bapak ketika ada waktu saja, selebihnya kakak yang selalu memperhatikan Bapak “
A2          : “ Benarkah itu ? (mencibir) lalu kenapa kakak tidak muncul, ketika aku menelpon, pada waktu Bapak meminta kakak datang? “
A1          : “ Kamu kira kakak tidak mau datang, kau tahu sepanjang hari kakak memikirkan keadaan Bapak, bahkan sampai-sampai klienku menghilang karena kerjaku tidak konsen sama sekali “
A2          : “ Bilang saja yang sebenarnya, ngga usah ditutup tutupin lagi “
A1          : “ Apa maksudmu bicara begitu?
Tok,tok,tok dari luar terdengar ada yang  mengetuk pintu, mereka sejenak berhenti berdebat dan segera menuju pintu. Anak sulung membukakan pintu.
P            : “ Permisi, selamat siang “
A1 & A2 : “ Selamat siang “
S            : “ Benarkah ini rumah almarhum Pak Jarwo ?”
A1                    : “ Iya, benar sekali Bu, silakan masuk “
Mereka saling bersalaman dan kemudian menuju ruang tamu. Mereka langsung menuju point persoalan.
A1          : “ Begini, berhubung Bapak dan Ibu kita telah meninggal, kita ingin membagi warisan sesuai peraturan dan wasiat Bapak “’
A2          : “ Betul sekali, tapi saya masih merasa tidak adil akan itu! “
P             : “ Sabar-sabar, kita bisa menyelesaikannya dengan adil “
S            : “ Baik, begini apa saja harta warisan yang ditinggalkan ? Biar saya data dan buatkan suratnya “
A1          : “ Tanah 25 hektar, yang terletak di jalan garuda RT 12 RW 5 di Cileunyi, 1 villa, “
A2          : “ Sejumlah uang dan rumah ini yang dulunya pernah kita tempati sekeluarga “
S            : “ Baik, saya sudah mendatanya dan saya juga sudah mendapat surat wasiatnya, kemarin “
P             : “ Jika menurut KUH yang berlaku, maka ¾ bagian jatuh pada anak kandung atau anak pertama, sedangkan ¼ nya jatuh pada anak tiri, atau dengan kata lain, anak bungsu “
A2          : “ Apa itu adil? Kenapa aku hanya mendapat ¼ saja ? “
S            : “ Kita akan menyesuaikan sesuai wasiat yang ditinggalkan almarhum Pak Jarwo “
P             : “ Besar kemungkinan pula, akan terjadi perubahan jika, surat wasiatnya mengatakan hal lain “
A2          : “ Tapi, kenapa harus kakak yang mendapatkan paling banyak? “
P             : “ Sudah, sudah, kita akan memutuskannya lagi “
A1          : “ Saya harap itu memang adil, saya akan menerima keputusannya jika memang ada perubahan “
A2          : “ Itu tidak bisa, dan tidak adil, saya tetap tidak terima, saya masih harus kuliah dan masih membutuhkan biaya yang cukup banyak, sedangkan kakak sudah bekerja “
A1          : “ Tapi dek, kita tetap harus menerima keputusan yang ada “
Sedangkan mereka bertengkar, Pengacara dan Sekretaris geleng-geleng kepala, dan saling berbincang sendiri.
P             : “ Mereka seperti anak-anak saja “
S            : “ Benar sekali. Masing-masing tidak ada yang mengalah, “
P             : “ Saya sampai pusing sendiri menangani persoalan seperti ini ”
S            : “ Sudah berapa lama anda menangani kasus seperti ini ? (sembari melihat-lihat berkas yang ada)
P             : “ 5 tahunan mungkin, ini masih mending, kemarin saja sampai ada yang memakai benda keras “
S            : “ Ekstrem sekali “
P             : “ Bagaimana dengan Anda? “
S            : “ Entahlah, saya baru 1 tahun ini dan pasti seperti ini “
Di waktu yang sama anak sulung dan bungsu masih saja berdebat.
A2          : “ Jangan sok deh kak, pasti kakak senang karena dapat yang lebih banyak, dengan begitu kakak bisa mendirikan usaha baru “
A1          : “ Dek, kakak membuka usaha baru itu tidak mungkin tanpa alasan , itu untuk menghidupi kita ke depannya “
A2          : “ Bilang saja hidup kakak, karena ada orang itu “
A1          : “ loh kamu kok bicaranya gitu(heran)kakak sudah curiga, kakak rasa semenjak kamu bergaul dengan pria itu kamu benar-benar mulai berubah drastis..sebaiknya kamu jauhin saja pria itu”
A2          : “ halah gak usah sok nasihatin deh, itu bukan urusan kakak...urusin aja urusan kakak sendiri dengan orang itu. Jangan dikira aku berlaku boros dan tidak benar, justru aku prihatin, tidak seperti teman-teman di kampus lainnya, 70% mahasiswa dikampus naik mobil ketika kuliah, sisanya ngangkot atau naik motor, nah adikmu ini termasuk yang sisanya itu. Motor butut yang bapak belikan setahun yang lalu sudah tidak mampu lagi menarik perhatian, sudah berganti model.”
A1          : Jangan berlagak bodoh! Kamu masih kumpul-kumpul dengan gengnya nindi kan? Hura-hura, menghamburkan uang, Kamu mau mencoreng muka kakak?!  Tidak kuliah dengan bener malah mau menikam kakaknya sendiri!(mulai geram)
A2          : “ Apa? Apa kakak tidak sadar, kakaklah yang ingin menusukku dari belakang. Pergi pagi-pagi sekali, pulangnya larut banget. Sampe kakak nggak pernah ngurusin bapak. Apa itu yang dinamakan anak berbakti ? kakak itu nggak pantes jadi anaknya bapak!” (berteriak)
A1          : “ Kamu bilang apa barusan? Kamu lupa siapa yang di hadapan kamu? Apa kamu lupa, kakak yang selalu nemenin kamu main saat kecil! (menampar)
A2          : (memegang pipi) sekarang terbukti siapa yang tidak benar(tersenyum sinis)
S            : “ Jika dibiarkan terus, mereka tidak akan akur-akur “
P             : “Benar sekali (menjawab pelan).“ sabar-sabar, kita disini membahas tentang warisan bukan urusan pribadi kalian.
S            : Jadi bagaimana keputusannya?”
P            : Kalau begitu saya akan memberitahukan hasilnya 3 hari lagi
A1          : Apa tidak dapat dipercepat Buk? Bukankah lebih cepat lebih baik?
A2          : Ya, apa tidak bisa dimanipulasi, sedikit saja ?
P            : Tidak bisa, itu melanggar sumpah
A2          : Baiklah tapi saya masih ingin bagian yang lebih banyak. Saya kan anak kesayangan dan anak yang selalu merawat bapak saat sakit.. walau saya belum bisa membahagiakan beliau, tidak salah kan bila saya mendapat bagian yang lebih banyak?
P             : Tidak bisa, biasanya anak yang lebih tualah yang mendapatkan bagian yang lebih banyak
A2         : Tapi percuma saja lebih tua karena saya yang selalu merawat bapak
A1          : Sudahlah hentikan, kita terima saja keputusannya dengan lapang dada
A2          : Apa? Dengan mudah begitu? Tidak! Saya tidak bisa menerima keputusan tersebut!
P            : Itu sudah tercantum dalam kuh perdata
A2          : (kesal) Apa kita tidak bisa menyeleweng sedikit saja dari kuh tersebut ?
P            : Maaf tidak bisa.
A1          : Apa prosesnya tidak dapat dipercepat?, bgaimana kalau sore nanti?
P            : Baiklah saya akan memberitahukan sore nanti jam 4
A1          : Baiklah
S            : Kami permisi dulu
A1          : Baik, terimakasih mohon bantuannya
Menjabat tangan, kemudian Pengacara dan Sekretaris desa pergi.
----------------------------------------sore jam 4--------------------------------------
A1          : Sekali lagi, kita harus terima lapang dada apapun keputusan yang dibuat oleh bapak dalam wasiatnya, besar kecilnya warisan yang diberikan kepada kita tentu saja dengan prinsip keadilan
A2          : Memang tahu apa kamu? Apa kamu sadar kamu ngomong apa? Saya kan yang selalu merawat bapak
A1          : Itu kan karena kamu nganggur
A2          : Tapi kewajiban kita sebagai anak kan sama. Lihatlah kamu, yang terlalu sibuk dengan urusanmu sendiri,katanya sih sibuk tapi paling-paling hanya kerja yang ngga jelas”
A1          : Apa! Dasar tak diuntung, karena itulah kakak buka usaha sendiri “
---------------------------------------ribut---------------------------------------------
S            : Sudah! bapak kalian akan merasa malu memiliki anak seperti kalian, dia akan menangis di kubur melihat tingkah kalian, kurang apa selama ini mereka, selama hidup, mereka berupaya memenuhi kebutuhan kalian, dengan segala daya, tapi apa balasan kalian?! Ah sudahlah, sangat sayang sekali energiku untuk berkotbah pada kalian, tidak akan mempan. Bu pengacara, anda mulai saja membacakan wasit tersebut
P          Ya, aku juga sudah …….(terpotong)
S         Jangan ikut berkotbah, kamu jalankan saja tugasmu!
Pengacara mengeluarkan map. Membaca kertas didalamnya
P          ………. Aku sudah pertimbangkan dengan matang-matang, aku begitu menyayangi anak-anakku, aku tidak ingin anak-anakku menjadi orang-orang kerdil, hidup susah. Aku inging semuanya sukses. Maka dengan surat wasiat ini aku berikan mandat kepada pengacara untuk menyampaikan pesanku kepada anak-anakku. Yang pertama, aku serahkan separo dari uang warisanku kepada panitia pembangunan panti asuhan, sedang anak-anakku masing-masing mendapatkan ¼ dari uang tersebut.
P          :.....villa yang aku berikan pada anak pertamaku untuk dijalankan, dan rumah untuk anak keduaku yang masih kuliah...sedang tanah 25 hektar yang dibagi 2, ½ bagian untuk anak pertama dan anak ½ untuk anak keduaku, tertanda bapak Jarwo...........
Begitulah akhir dari negoisasi tersebut dan kemudian membubuhkan tanda tangan mereka masing-masing, mereka mulai menjalani kehidupan normal mereka seperti biasa dan melupakan kebiasaan buruk mereka selagi berjalannya waktu.
                                                  TAMAT...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar