NEGOSIASI WARISAN YANG
DITINGGALKAN PAK JARWO
40 hari sudah meninggalnya
Almarhum Bapak Jarwo. Siang itu, suasana berkabung telah hilang, digantikan
dengan perselisihan antara anak sulung dan anak bungsu Pak Jarwo. Baik anak
sulung maupun anak bungsu, mereka tidak ada yang mau mengalah, masing-masing
berdebat mempertahankan kemauan mereka. Sepeninggalan pak Jarwo, beliau
meninggalkan warisan berupa tanah 25 hektar, yang terletak di jalan garuda RT
12 RW 5 di Cileunyi, sejumlah uang dan
sebuah villa, serta rumah yang dulunya pernah mereka tempati sekeluarga.
A1 : “ Disini kita berkumpul untuk membicarakan
soal semua harta yang ditinggalkan oleh orang tua kita “
A2 : “ Iya, sekarang bagaimana kita
membaginya ? “
A1 : “ Karena ini sudah 40 harinya bapak
meninggal, jadi kita harus membicarakannya lebih jelas, 30 menit lagi pengacara
dan sekretaris desa akan datang “
A2 : “ Tentu saja, tapi aku harap karena
aku yang anak terakhir, aku yang seharusnya mendapat yang lebih banyak, karena
aku juga membutuhkan uang untuk kuliah dan lainnya “
A1 : “ Jika itu yang kamu mau, itu tentu
saja tidak adil, kakak yang lebih tahu tentang itu dan sudah sepatutnya kakak
yang mendapat lebih “
A2 : “ Itu tidak bisa, coba ingat lagi,
aku lah yang telah merawat bapak selama sakit, sedangkan kakak hanya sibuk
ngurusin kerjaan kakak yang ngga jelas “
A1 : “ Apa kau bilang, kenapa bicaramu
berubah seperti itu ? kau kira kakak tidak tahu, kamu kan merawat Bapak ketika
ada waktu saja, selebihnya kakak yang selalu memperhatikan Bapak “
A2 : “ Benarkah itu ? (mencibir) lalu
kenapa kakak tidak muncul, ketika aku menelpon, pada waktu Bapak meminta kakak datang?
“
A1 : “ Kamu kira kakak tidak mau datang,
kau tahu sepanjang hari kakak memikirkan keadaan Bapak, bahkan sampai-sampai klienku
menghilang karena kerjaku tidak konsen sama sekali “
A2 : “ Bilang saja yang sebenarnya, ngga
usah ditutup tutupin lagi “
A1 : “ Apa maksudmu bicara begitu?
Tok,tok,tok dari luar
terdengar ada yang mengetuk pintu,
mereka sejenak berhenti berdebat dan segera menuju pintu. Anak sulung
membukakan pintu.
P : “ Permisi, selamat siang “
A1 & A2 : “ Selamat siang “
S : “ Benarkah ini rumah almarhum Pak Jarwo ?”
A1 : “ Iya, benar sekali Bu, silakan masuk “
Mereka saling bersalaman
dan kemudian menuju ruang tamu. Mereka langsung menuju point persoalan.
A1 : “ Begini, berhubung Bapak dan Ibu
kita telah meninggal, kita ingin membagi warisan sesuai peraturan dan wasiat
Bapak “’
A2 : “ Betul sekali, tapi saya masih
merasa tidak adil akan itu! “
P : “ Sabar-sabar, kita bisa
menyelesaikannya dengan adil “
S : “ Baik, begini apa saja harta
warisan yang ditinggalkan ? Biar saya data dan buatkan suratnya “
A1 : “ Tanah 25 hektar, yang terletak di
jalan garuda RT 12 RW 5 di Cileunyi, 1 villa, “
A2 : “ Sejumlah uang dan rumah ini yang
dulunya pernah kita tempati sekeluarga “
S : “ Baik, saya sudah mendatanya dan
saya juga sudah mendapat surat wasiatnya, kemarin “
P : “ Jika menurut KUH yang berlaku,
maka ¾ bagian jatuh pada anak kandung atau anak pertama, sedangkan ¼ nya jatuh
pada anak tiri, atau dengan kata lain, anak bungsu “
A2 : “ Apa itu adil? Kenapa aku hanya
mendapat ¼ saja ? “
S : “ Kita akan menyesuaikan sesuai
wasiat yang ditinggalkan almarhum Pak Jarwo “
P : “ Besar kemungkinan pula, akan
terjadi perubahan jika, surat wasiatnya mengatakan hal lain “
A2 : “ Tapi, kenapa harus kakak yang
mendapatkan paling banyak? “
P : “ Sudah, sudah, kita akan
memutuskannya lagi “
A1 : “ Saya harap itu memang adil, saya
akan menerima keputusannya jika memang ada perubahan “
A2 : “ Itu tidak bisa, dan tidak adil, saya
tetap tidak terima, saya masih harus kuliah dan masih membutuhkan biaya yang
cukup banyak, sedangkan kakak sudah bekerja “
A1 : “ Tapi dek, kita tetap harus
menerima keputusan yang ada “
Sedangkan mereka
bertengkar, Pengacara dan Sekretaris geleng-geleng kepala, dan saling
berbincang sendiri.
P : “ Mereka seperti anak-anak saja “
S : “ Benar sekali. Masing-masing
tidak ada yang mengalah, “
P : “ Saya sampai pusing sendiri
menangani persoalan seperti ini ”
S : “ Sudah berapa lama anda menangani
kasus seperti ini ? (sembari melihat-lihat berkas yang ada)
P : “ 5 tahunan mungkin, ini masih
mending, kemarin saja sampai ada yang memakai benda keras “
S : “ Ekstrem sekali “
P : “ Bagaimana dengan Anda? “
S : “ Entahlah, saya baru 1 tahun ini
dan pasti seperti ini “
Di waktu
yang sama anak sulung dan bungsu masih saja berdebat.
A2 : “ Jangan sok deh kak, pasti kakak
senang karena dapat yang lebih banyak, dengan begitu kakak bisa mendirikan
usaha baru “
A1 : “ Dek, kakak membuka usaha baru itu
tidak mungkin tanpa alasan , itu untuk menghidupi kita ke depannya “
A2 : “ Bilang saja hidup kakak, karena
ada orang itu “
A1 : “ loh kamu kok bicaranya gitu(heran)kakak sudah curiga, kakak rasa semenjak kamu bergaul dengan pria itu kamu benar-benar mulai berubah drastis..sebaiknya kamu jauhin saja pria itu”
A2 : “ halah gak usah sok nasihatin deh, itu bukan urusan kakak...urusin aja urusan kakak sendiri dengan orang itu. Jangan dikira aku berlaku boros dan tidak benar, justru aku prihatin, tidak seperti teman-teman di kampus
lainnya, 70% mahasiswa dikampus naik mobil ketika kuliah, sisanya ngangkot atau
naik motor, nah adikmu ini termasuk yang sisanya itu. Motor butut yang bapak belikan setahun yang lalu sudah tidak mampu lagi
menarik perhatian, sudah berganti model.”
A1 : “ Jangan berlagak bodoh! Kamu
masih kumpul-kumpul dengan gengnya nindi kan? Hura-hura, menghamburkan uang, Kamu
mau mencoreng muka kakak?! Tidak kuliah dengan bener malah mau menikam kakaknya sendiri! “ (mulai geram)
A2 : “ Apa? Apa kakak tidak sadar, kakaklah yang ingin menusukku dari belakang.
Pergi pagi-pagi sekali, pulangnya larut banget. Sampe kakak nggak pernah
ngurusin bapak. Apa itu yang dinamakan anak berbakti ? kakak itu nggak pantes
jadi anaknya bapak!” (berteriak)
A1 : “
Kamu bilang apa barusan? Kamu lupa siapa yang
di hadapan kamu? Apa kamu lupa, kakak
yang selalu nemenin kamu main saat kecil!” (menampar)
A2 : (memegang pipi) “sekarang terbukti siapa
yang tidak benar” (tersenyum sinis)
S : “ Jika dibiarkan terus, mereka
tidak akan akur-akur “
P : “Benar
sekali (menjawab pelan).“ sabar-sabar, kita disini
membahas tentang warisan bukan urusan pribadi kalian.”
S : “ Jadi bagaimana keputusannya?”
P : “ Kalau begitu saya akan memberitahukan hasilnya 3 hari lagi “
A1 : “Apa tidak dapat dipercepat Buk?
Bukankah lebih cepat lebih baik?”
A2 : “ Ya, apa tidak bisa dimanipulasi, sedikit saja ?”
P : “Tidak bisa, itu melanggar sumpah”
A2 : “Baiklah tapi saya masih ingin bagian yang lebih
banyak. Saya kan anak kesayangan dan anak yang selalu merawat bapak saat
sakit.. walau saya belum bisa membahagiakan beliau, tidak salah kan
bila saya mendapat bagian yang lebih banyak?”
P : ”Tidak bisa, biasanya anak
yang lebih tualah yang mendapatkan bagian yang lebih banyak”
A2 : “Tapi percuma saja lebih tua karena saya yang selalu merawat
bapak”
A1 : “Sudahlah hentikan, kita terima saja keputusannya dengan lapang
dada”
A2 : “ Apa? Dengan mudah begitu? Tidak! Saya tidak bisa menerima
keputusan tersebut! “
P : “ Itu sudah tercantum dalam kuh perdata”
A2 : (kesal) “ Apa kita tidak bisa
menyeleweng sedikit saja dari kuh tersebut ?”
P : “Maaf tidak bisa.”
A1 : “Apa prosesnya tidak dapat dipercepat?, bgaimana kalau sore
nanti?”
P : “Baiklah saya akan memberitahukan sore nanti jam 4”
A1 : “Baiklah”
S : “Kami permisi dulu”
A1 : “Baik, terimakasih mohon bantuannya”
Menjabat tangan, kemudian
Pengacara dan Sekretaris desa pergi.
----------------------------------------sore
jam 4--------------------------------------
A1 : “Sekali lagi, kita harus terima lapang dada apapun keputusan
yang dibuat oleh bapak dalam wasiatnya, besar kecilnya warisan yang diberikan
kepada kita tentu saja dengan prinsip keadilan”
A2 : “Memang tahu apa kamu? Apa kamu sadar kamu ngomong apa? Saya
kan yang selalu merawat bapak”
A1 : “Itu kan karena kamu nganggur”
A2 : “Tapi kewajiban kita sebagai anak kan sama. Lihatlah kamu, yang
terlalu sibuk dengan urusanmu sendiri,katanya sih sibuk tapi paling-paling
hanya kerja
yang ngga jelas”
A1 : “Apa! Dasar tak diuntung, karena itulah kakak buka usaha
sendiri “
---------------------------------------ribut---------------------------------------------
S : “Sudah! bapak kalian akan merasa
malu memiliki anak seperti kalian, dia akan menangis di kubur melihat tingkah
kalian, kurang apa selama ini mereka, selama hidup, mereka berupaya memenuhi
kebutuhan kalian, dengan segala daya, tapi apa balasan kalian?! Ah sudahlah,
sangat sayang sekali energiku untuk berkotbah pada kalian, tidak akan mempan. Bu pengacara, anda mulai saja membacakan wasit tersebut”
P : “Ya, aku juga sudah …….(terpotong)”
S : “Jangan ikut berkotbah, kamu jalankan saja tugasmu!”
Pengacara mengeluarkan map. Membaca kertas didalamnya
P : “………. Aku sudah pertimbangkan dengan matang-matang, aku begitu menyayangi
anak-anakku, aku tidak ingin anak-anakku menjadi orang-orang kerdil, hidup
susah. Aku inging semuanya sukses. Maka dengan surat wasiat ini aku berikan mandat kepada pengacara untuk
menyampaikan pesanku kepada anak-anakku. Yang pertama, aku serahkan separo dari
uang warisanku kepada panitia pembangunan panti asuhan, sedang anak-anakku
masing-masing mendapatkan ¼ dari uang tersebut.”
P : “.....villa yang aku berikan pada anak pertamaku untuk dijalankan, dan rumah
untuk anak keduaku yang masih kuliah...sedang tanah 25 hektar yang dibagi 2, ½
bagian untuk anak pertama dan anak ½ untuk anak keduaku, tertanda bapak Jarwo...........”
Begitulah akhir dari negoisasi tersebut dan kemudian membubuhkan
tanda tangan mereka masing-masing, mereka mulai menjalani kehidupan normal mereka seperti biasa dan
melupakan kebiasaan buruk mereka selagi berjalannya waktu.
TAMAT...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar