Selasa, 05 September 2017

serat wulangreh

SERAT WULANGREH
ANGGITAN
SRI SUSUHUNAN PAKUBOWONO IV


PENDAHULUAN
Inti sari kebudayaan Jawa adalah ‘penataan kesadaran batin’. Pendekatan ‘penataan kesadaran batin’ ini bertolak belakang dengan pendekatan budaya barat yang penekankan pada pengembangan pikiran atau ratio.
Dalam ‘penataan kesadaran batin’ diajarkan agar manusia selalu ‘eling lan waspada’. Eling artinya sadar. Kesadaran yang pokok ada empat, yaitu: pertama, sadar bahwa manusia itu diciptakan oleh Sang Maha Pencipta; kedua, sadar bahwa dalam hidupnya, manusia mengemban misi dari Sang Maha Pencipta; tiga, sadar bahwa manusia hidup di dunia itu tidak sendirian tetapi bebrayan dengan manusia lain; empat, sadar bahwa alam sudah menyediakan segalanya bagi kehidupan manusia, manusia tinggal memanfaatkan dan memelihara.
Waspada adalah kemampuan manusia yang diberikan oleh Sang Maha Pencipta agar mampu membedakan yang baik dari yang buruk, yang benar dari yang salah, yang hak dan yang batil, dan sebagainya.
Para pujangga dan para winasi menaruh perhatian besar terhadap pentingnya ‘kesadaran penataan batin’ ini. Beliau-beliau ini lalu menciptakan karya sastra, karya seni, karya tari, karya yang berupa pranata sosial dan sebagainya untuk mengingatkan, untuk menuntun dan melatih manusia dalam proses ‘penataan kesadaran batin’.
Serat Wulangreh merupakan salah satu karya sastra yang diciptakan oleh Sri Susuhunan Pakubuwono IV sebagai peringatan, pedoman dan nasihat dalam menjalani laku hidup yang benar. Serat Wulangreh  mengandung beberapa ajaran dalam susunan yang tematik. Masing-masing tema dituangkan dalam pupuh-pupuh tembang atau sekar.
Di bawah ini diuraikan makna dari setiap pupuh menurut tema ajaran sehingga uraiannya tidak sesuai dengan urutan dalam buku Serat Wulangreh.

1. DANDHANGGULA (DDGL)
Belajar ilmu
Inti dari pupuh DDGL dalam Serat Wulangreh adalah anjuran mencari ilmu dan menunjukkan pentingnya orang mempunyai ilmu. Dalam mencari ilmu dianjurkan agar belajar pada guru yang baik,  jangan pernah bosan dalam mencari ilmu.
Ilmu yang ditekankan dalam hal ini adalah yang berkaitan dengan ‘jiwa’ dan tidak hanya dalam hal pengetahuan. Dikatakan bahwa orang yang sudah merasa tahu belum dapat dikatakan tahu kalau belum dapat merasakan. Mempelajari sesuatu itu harus sampai dapat merasakan (meresapi) dan tidak sekedar tahu atau mengerti.
Pupuh Dhandhanggula dalam Serat Wulangreh ini lebih banyak membahas tentang ilmu dan proses belajar dalam kaitan dengan pemahaman dan penafsiran Al Qur’an. Tafsir dan pemaknaan pelajaran agama itu bermacam-macam sehingga kita perlu menyaring dan jangan buru-buru menyatakan benar atau salah, setuju atau tidak setuju.

2. PUPUH MASKUMAMBANG
Berbakti kepada Yang Lima (Lilima sinembah)
Pupuh ini terutama menganjurkan orang untuk berbakti kepada lima pihak utama, yaitu: (1) kedua orang tua kandung, (2) kedua mertua, (3) saudara tua, (4) guru dan (5) Tuhan.
Juga dianjurkan agar selalu menauladhani orang tua kalau tindakannya baik. Tetapi kalau orang tua bertindak tidak baik, tidak perlu ditiru atau diturut. Bekti kepada orang tua itu menjadikan hidup kita menjadi baik dan sebaliknya kalau tidak bekti maka kita akan hidup tidak bahagia. Harus diingat bahwa semua yang kita peroleh dalam hidup adalah karena bapak dan ibu.
Dalam hal kedua orang tua sudah tidak ada maka saudara tua sebagai penggantinya dan kita harus juga bekti kepadanya. Selain itu dalam pupuh ini juga diberikan arahan untuk bekti kepada guru agar hidup mulya dan berhati terang. Selanjutnya juga ada nasihat agar kita bekti kepada Tuhan.

3. PUPUH MEGATRUH
Pupuh ini pada dasarnya memberi gambaran tentang pengabdian kepada raja. Gambaran yang diceritakan dengan sendirinya dilihat dari sisi seorang raja (dalam hal ini Sri Sunan Pakubuwono IV) yang menulis Serat Wulangreh ini.
Dinyatakan bahwa raja adalah wakil Hyang Agung, yang menjalankan hukum dengan adil sehingga harus dipatuhi. Siapapun yang tidak patuh berarti juga melawan kehendak Hyang Agung. Dengan demikian, dalam ‘ngawula’ kepada raja itu harus ikhlas lahir batin, mantap tidak boleh ragu.
Selanjutnya dikatakan bahwa kalau orang belum ikhlas lebih baik jangan ‘mengabdi’ dulu. Namun juga diberikan gambaran kalau tidak mengabdi maka orang tidak mendapat kedudukan yang baik dan menguntungkan sepeti orang yang mengabdi. Diakui juga bahwa mengabdi itu tidak mudah karena selain ikhlas juga banyak kewajibannya.

4. PUPUH DURMA
Pupuh ini mengandung nasehat yang penting, yaitu tentang bagaimana bersikap arif terhadap orang lain dan diri sendiri. Intinya adalah pengendalian diri, mengendalikan nafsu.  Dianjurkan agar kita jangan menyalahkan orang lain kalau kita mengalami hal yang tidak menyenangkan. Baik atau buruk, beruntung atau celaka, benar atau salah (yang kita alami) itu semuanya dari Tuhan, bukan karena kesalahan orang lain.
Dianjurkan agar kita jangan terlalu memuji ataupun menghujat secara berlebihan. Pekerjaan yang paling mudah adalah mencela. Orang yang mudah mencela itu merasa bahwa dialah yang selalu benar dan paling benar sendiri. Yang lebih baik aalah mengingatkan orang lain yang ‘sedang lupa’. Kalau tidak bisa berbuat sesuatu untuk membantu yang sesat, lebih baik diam saja, jangan malah ‘ngrasani’ atau menggunjingkan orang lain.

5. PUPUH WIRANGRONG
Inti dari pupuh ini adalah nasehat tentang kearifan berkata-kata, sikap terhadap harta, tentang godaan wanita, kebiasaan berjudi dan minum serta watak durjana. Singkatnya pupuh ini adalah tentang Moh-Lima (atau ngemohi sing lima).
Dinasehatkan agar orang berhemat dengan bibirnya, jangan mudah berkomentar, mencela (kritik) ataupun menghujat (dengan kata-kata kotor) sebelum tahu benar tentang keadaan sebenarnya. Kalau sudah tahu keadaan (informasi) tentang keburukan ornag lain, juga tidak perlu diungkapkan secara terbuka. Dianjurkan agar tidak mudah marah-marah kepada yang diduga salah karena kita akan menanggung dosa kesedihan orang yang kita marahi.
Dianjurkan agar kita memperkuat batin agar tidak tergoda oleh wanita, terutama jangan selingkuh dengan isteri (atau janda) saudara, teman atau bawahan kita. Selingkuh menjadikan batin tidak tenang, pikiran kacau dan mengurangi kepercayaan diri sendiri karena rasa bersalah.
Digambarkan dalam pupuh ini bagaimana orang kaya yang selalu merasa kurang sehingga kikir dan selalu khawatir hartanya berkurang atau hilang. Kalau hartanya kurang sedikit saja, hatinya menyesali berlarut-larut seakan kehilangan banyak harta. Setiap orang yang datang dicurigai akan minta uang sehingga tidak diterima dengan senang.

6. PUPUH MIJIL
Watak ‘prawira’ (satriya)
Dalam Serat Wulangreh Pupuh Mijil digambarkan bagaimana seharusnya orang yang ‘sudah berilmu’ itu bersikap dan berlaku. Orang berilmu itu memiliki watak ‘prawira’ dan ‘satriya’. Orang semacam itu tenang batinnya, terjaga kata-katanya, dan arif dalam menyikapi berbagai keadaan.  Seorang yang prawira juga ‘menerima’ dengan ihklas apapun yang telah diberikan oleh Tuhan. Seorang ‘prawira’ juga tidak segan untuk belajar kepada siapapun kalau dia tidak mengetahui.
Dalam pupuh ini juga diberikan gambaran bahwa tidak banyak orang yang berwatak ‘prawira’ tadi. Mereka lupa diri kalau sudah mendapatkan kedudukan atau kekayaan. Mereka juga lupa akan kemurahan Tuhan. Diingatkan juga bahwa dalam segala keadaan orang akan ‘selamat hidupnya’ kalau menggunakan ilmu syariat sebagai pedoman hidup.

7. PUPUH ASMARADANA
Ajaran tentang sholat lima waktu.
Pupuh Asmaradana dalam Serat Wulangreh menganjurkan agar orang menjalankan sholat lima waktu (bagi orang Islam). Selain itu juga dianjurkan agar orang menggunakan pedoman syariah dan hadis Nabi saw sebagai pedoman hidup.
Digambarkan dalam pupuh ini bahwa manusia yang ‘sesat’ (tidak menjalankan ajaran agama) bisa menjadi makhluk yang lebih asor dari kerbau (karena daging kerbau halal, sedang daging manusia haram). Juga diajarkan agar orang tidak terikat dengan kebendaan dunia. Dalam pada-pada dalam pupuh ini banyak diberikan  gambaran tentang watak-watak buruk manusia dalam kehidupan.

8. PUPUH GIRISA
Isi dari pupuh Girisa dalam serat Wulangreh dapat dikatakan merupakan rekapitulasi dari semua sikap dan laku serta berbagai nasehat yang telah diberikan dalam pupuh-pupuh sebelumnya. Anjuran bagi yang muda untuk menerapkan dan tidak melupakan ajaran oragn tua. Bagi yang tua dianjurkan agar berlaku baik agar dapat memberi warisan yang berguna bagi turunannya.
Orang juga dianjurkan untuk menerima keadaan atau nasib, karena itu semua telah menjadi keputusan Tuhan. Oleh karena itu agar selalu berbakti kepada Tuhan. Kalau belum tahu bagaimana harus berbakti kepada Tuhan, orang harus berguru, yaitu kepada para ulama dan para winasis.
Ada anjuran agar orang senang membaca, terutama tentang buku-buku kuno yang ditulis oleh para ulama, para winasis dan sastrawan. Belajar dan meneladani laku yang baik itu penting bukan saja untuk diri sendiri tetapi juga untuk anak turun kita di masa depan.
Pada bagian akhir penulis serat Wulangreh berpamitan dengan menyatakan dirinya sudah menjelang masa tua:
§  wak ingsun upama surya, lingsir kulon wayahira, pedhak mring surupe uga, atebih maring timbulnya, pira lawase neng donya, ing kauripaning janma, mangsa nganti satus warsa, iya umuring manungsa<.
Penulis juga berharap agar tulisan beliau yang berupa tembang ini (Serat Wulangreh) dapat dipelajari:
§  mulane sun muruk marang, kabeh ing atmajaningwang, den tulis sun wehi tembang, darapon padha rahaba, enggone padha amaca, sarta ngrasakken cerita, aja bosen denapalna, ing rina wengi elinga<.
Pada bagian sebelum akhir (pada 24) dari pupuh Girisa ini penulis memberikan identitasnya sebagai Kanjeng Susuhunan Pakubuwana Kaping Pat. Beliau berharap selalu diingat.
Pada bagian terakhir (pada 25) penulis menyatakan waktu dituliskannya Serat Wulangreh: Sasi Besar ping sangalas, Akad Kliwon tahun dal, tata guna swareng nata (1735), mangsastha windu Sancaka, wuku Sungsang kang atampa.
Tamat. 

Purwobinangun,  Pakem, Sleman

Januari 2010