SERAT WULANGREH
ANGGITAN
SRI SUSUHUNAN PAKUBOWONO IV
PENDAHULUAN
Inti sari kebudayaan Jawa adalah ‘penataan kesadaran
batin’. Pendekatan ‘penataan kesadaran batin’ ini bertolak belakang dengan
pendekatan budaya barat yang penekankan pada pengembangan pikiran atau ratio.
Dalam ‘penataan kesadaran batin’ diajarkan agar manusia selalu
‘eling lan waspada’. Eling artinya sadar. Kesadaran yang pokok
ada empat, yaitu: pertama, sadar bahwa manusia itu diciptakan oleh Sang Maha
Pencipta; kedua, sadar bahwa dalam hidupnya, manusia mengemban misi dari Sang
Maha Pencipta; tiga, sadar bahwa manusia hidup di dunia itu tidak sendirian
tetapi bebrayan dengan manusia lain; empat, sadar bahwa alam sudah menyediakan
segalanya bagi kehidupan manusia, manusia tinggal memanfaatkan dan memelihara.
Waspada adalah kemampuan manusia yang diberikan oleh Sang Maha
Pencipta agar mampu membedakan yang baik dari yang buruk, yang benar dari yang
salah, yang hak dan yang batil, dan sebagainya.
Para pujangga dan para winasi menaruh perhatian besar terhadap
pentingnya ‘kesadaran penataan batin’ ini. Beliau-beliau ini lalu menciptakan
karya sastra, karya seni, karya tari, karya yang berupa pranata sosial dan
sebagainya untuk mengingatkan, untuk menuntun dan melatih manusia dalam proses
‘penataan kesadaran batin’.
Serat Wulangreh merupakan salah satu karya sastra yang
diciptakan oleh Sri Susuhunan Pakubuwono IV sebagai peringatan, pedoman dan
nasihat dalam menjalani laku hidup yang benar. Serat
Wulangreh mengandung beberapa ajaran dalam susunan yang tematik.
Masing-masing tema dituangkan dalam pupuh-pupuh tembang atau sekar.
Di bawah ini diuraikan makna dari setiap pupuh menurut tema
ajaran sehingga uraiannya tidak sesuai dengan urutan dalam buku Serat
Wulangreh.
1. DANDHANGGULA (DDGL)
Belajar ilmu
Inti dari pupuh DDGL dalam Serat Wulangreh adalah anjuran
mencari ilmu dan menunjukkan pentingnya orang mempunyai ilmu. Dalam mencari
ilmu dianjurkan agar belajar pada guru yang baik, jangan
pernah bosan dalam mencari ilmu.
Ilmu yang ditekankan dalam hal ini adalah yang berkaitan dengan
‘jiwa’ dan tidak hanya dalam hal pengetahuan. Dikatakan bahwa orang yang sudah
merasa tahu belum dapat dikatakan tahu kalau belum dapat merasakan.
Mempelajari sesuatu itu harus sampai dapat merasakan (meresapi) dan tidak
sekedar tahu atau mengerti.
Pupuh Dhandhanggula dalam Serat Wulangreh ini lebih banyak
membahas tentang ilmu dan proses belajar dalam kaitan dengan pemahaman dan
penafsiran Al Qur’an. Tafsir dan pemaknaan pelajaran agama itu bermacam-macam
sehingga kita perlu menyaring dan jangan buru-buru menyatakan benar atau salah,
setuju atau tidak setuju.
2. PUPUH MASKUMAMBANG
Berbakti kepada Yang Lima (Lilima sinembah)
Pupuh ini terutama menganjurkan orang untuk berbakti kepada lima
pihak utama, yaitu: (1) kedua orang tua kandung, (2) kedua mertua, (3) saudara
tua, (4) guru dan (5) Tuhan.
Juga dianjurkan agar selalu menauladhani orang
tua kalau tindakannya baik. Tetapi kalau orang tua bertindak tidak baik, tidak
perlu ditiru atau diturut. Bekti kepada orang tua itu menjadikan hidup kita
menjadi baik dan sebaliknya kalau tidak bekti maka kita akan hidup tidak
bahagia. Harus diingat bahwa semua yang kita peroleh dalam hidup adalah karena
bapak dan ibu.
Dalam hal kedua orang tua sudah tidak ada maka saudara tua
sebagai penggantinya dan kita harus juga bekti kepadanya. Selain itu dalam
pupuh ini juga diberikan arahan untuk bekti kepada guru agar hidup mulya dan
berhati terang. Selanjutnya juga ada nasihat agar kita bekti kepada Tuhan.
3. PUPUH MEGATRUH
Pupuh ini pada dasarnya memberi gambaran tentang pengabdian
kepada raja. Gambaran yang diceritakan dengan sendirinya dilihat dari sisi
seorang raja (dalam hal ini Sri Sunan Pakubuwono IV) yang menulis Serat
Wulangreh ini.
Dinyatakan bahwa raja adalah wakil Hyang Agung, yang menjalankan
hukum dengan adil sehingga harus dipatuhi. Siapapun yang tidak patuh berarti
juga melawan kehendak Hyang Agung. Dengan demikian, dalam ‘ngawula’ kepada raja
itu harus ikhlas lahir batin, mantap tidak boleh ragu.
Selanjutnya dikatakan bahwa kalau orang belum ikhlas lebih baik
jangan ‘mengabdi’ dulu. Namun juga diberikan gambaran kalau tidak mengabdi maka
orang tidak mendapat kedudukan yang baik dan menguntungkan sepeti orang yang
mengabdi. Diakui juga bahwa mengabdi itu tidak mudah karena selain ikhlas juga
banyak kewajibannya.
4. PUPUH DURMA
Pupuh ini mengandung nasehat yang penting, yaitu tentang
bagaimana bersikap arif terhadap orang lain dan diri sendiri.
Intinya adalah pengendalian diri, mengendalikan nafsu. Dianjurkan
agar kita jangan menyalahkan orang lain kalau kita mengalami hal yang tidak
menyenangkan. Baik atau buruk, beruntung atau celaka, benar atau salah (yang
kita alami) itu semuanya dari Tuhan, bukan karena kesalahan orang lain.
Dianjurkan agar kita jangan terlalu memuji ataupun menghujat
secara berlebihan. Pekerjaan yang paling mudah adalah mencela. Orang yang mudah
mencela itu merasa bahwa dialah yang selalu benar dan paling benar sendiri.
Yang lebih baik aalah mengingatkan orang lain yang ‘sedang lupa’. Kalau tidak
bisa berbuat sesuatu untuk membantu yang sesat, lebih baik diam saja, jangan
malah ‘ngrasani’ atau menggunjingkan orang lain.
5. PUPUH WIRANGRONG
Inti dari pupuh ini adalah nasehat tentang kearifan
berkata-kata, sikap terhadap harta, tentang godaan wanita, kebiasaan berjudi
dan minum serta watak durjana. Singkatnya pupuh ini adalah tentang Moh-Lima
(atau ngemohi sing lima).
Dinasehatkan agar orang berhemat dengan bibirnya, jangan mudah
berkomentar, mencela (kritik) ataupun menghujat (dengan kata-kata kotor)
sebelum tahu benar tentang keadaan sebenarnya. Kalau sudah tahu keadaan
(informasi) tentang keburukan ornag lain, juga tidak perlu diungkapkan secara
terbuka. Dianjurkan agar tidak mudah marah-marah kepada yang diduga salah
karena kita akan menanggung dosa kesedihan orang yang kita marahi.
Dianjurkan agar kita memperkuat batin agar tidak tergoda oleh
wanita, terutama jangan selingkuh dengan isteri (atau janda) saudara, teman
atau bawahan kita. Selingkuh menjadikan batin tidak tenang, pikiran kacau dan
mengurangi kepercayaan diri sendiri karena rasa bersalah.
Digambarkan dalam pupuh ini bagaimana orang kaya yang selalu
merasa kurang sehingga kikir dan selalu khawatir hartanya berkurang atau
hilang. Kalau hartanya kurang sedikit saja, hatinya menyesali berlarut-larut
seakan kehilangan banyak harta. Setiap orang yang datang dicurigai akan minta
uang sehingga tidak diterima dengan senang.
6. PUPUH MIJIL
Watak ‘prawira’ (satriya)
Dalam Serat Wulangreh Pupuh Mijil digambarkan bagaimana
seharusnya orang yang ‘sudah berilmu’ itu bersikap dan berlaku. Orang berilmu
itu memiliki watak ‘prawira’ dan ‘satriya’. Orang semacam itu tenang batinnya,
terjaga kata-katanya, dan arif dalam menyikapi berbagai
keadaan. Seorang yang prawira juga ‘menerima’ dengan ihklas apapun
yang telah diberikan oleh Tuhan. Seorang ‘prawira’ juga tidak segan untuk
belajar kepada siapapun kalau dia tidak mengetahui.
Dalam pupuh ini juga diberikan gambaran bahwa tidak banyak orang
yang berwatak ‘prawira’ tadi. Mereka lupa diri kalau sudah mendapatkan
kedudukan atau kekayaan. Mereka juga lupa akan kemurahan Tuhan. Diingatkan juga
bahwa dalam segala keadaan orang akan ‘selamat hidupnya’ kalau menggunakan ilmu
syariat sebagai pedoman hidup.
7. PUPUH ASMARADANA
Ajaran tentang sholat lima waktu.
Pupuh Asmaradana dalam Serat Wulangreh menganjurkan agar orang menjalankan
sholat lima waktu (bagi orang Islam). Selain itu juga dianjurkan agar orang
menggunakan pedoman syariah dan hadis Nabi saw sebagai pedoman hidup.
Digambarkan dalam pupuh ini bahwa manusia yang ‘sesat’ (tidak
menjalankan ajaran agama) bisa menjadi makhluk yang lebih asor dari kerbau
(karena daging kerbau halal, sedang daging manusia haram). Juga diajarkan agar
orang tidak terikat dengan kebendaan dunia. Dalam pada-pada dalam
pupuh ini banyak diberikan gambaran tentang watak-watak buruk manusia
dalam kehidupan.
8. PUPUH GIRISA
Isi dari pupuh Girisa dalam serat Wulangreh dapat dikatakan
merupakan rekapitulasi dari semua sikap dan laku serta berbagai nasehat yang
telah diberikan dalam pupuh-pupuh sebelumnya. Anjuran bagi yang muda untuk
menerapkan dan tidak melupakan ajaran oragn tua. Bagi yang tua dianjurkan agar
berlaku baik agar dapat memberi warisan yang berguna bagi turunannya.
Orang juga dianjurkan untuk menerima keadaan atau nasib, karena
itu semua telah menjadi keputusan Tuhan. Oleh karena itu agar selalu berbakti
kepada Tuhan. Kalau belum tahu bagaimana harus berbakti kepada Tuhan, orang
harus berguru, yaitu kepada para ulama dan para winasis.
Ada anjuran agar orang senang membaca, terutama tentang
buku-buku kuno yang ditulis oleh para ulama, para winasis dan sastrawan.
Belajar dan meneladani laku yang baik itu penting bukan saja untuk diri sendiri
tetapi juga untuk anak turun kita di masa depan.
Pada bagian akhir penulis serat Wulangreh berpamitan dengan
menyatakan dirinya sudah menjelang masa tua:
§ wak
ingsun upama surya, lingsir kulon wayahira, pedhak mring surupe uga, atebih
maring timbulnya, pira lawase neng donya, ing kauripaning janma, mangsa nganti
satus warsa, iya umuring manungsa<.
Penulis juga berharap agar tulisan beliau yang berupa tembang
ini (Serat Wulangreh) dapat dipelajari:
§ mulane
sun muruk marang, kabeh ing atmajaningwang, den tulis sun wehi tembang, darapon
padha rahaba, enggone padha amaca, sarta ngrasakken cerita, aja bosen
denapalna, ing rina wengi elinga<.
Pada bagian sebelum akhir (pada 24) dari pupuh Girisa ini
penulis memberikan identitasnya sebagai Kanjeng Susuhunan Pakubuwana Kaping
Pat. Beliau berharap selalu diingat.
Pada bagian terakhir (pada 25) penulis menyatakan waktu
dituliskannya Serat Wulangreh: Sasi Besar ping sangalas, Akad Kliwon tahun
dal, tata guna swareng nata (1735), mangsastha windu Sancaka,
wuku Sungsang kang atampa.
Tamat.
Purwobinangun, Pakem,
Sleman
Januari 2010
